Tadi aku berdoa. Aku masuk ke dalam ruangan Tuhan, di mana Ia duduk di atas singggasana-Nya yang indah. Aku berdiri di tempat yang pantas, dan membungkuk sebelum berbicara.
Tuhan tersenyum, dan menyapaku. Aku menyapa-Nya kembali, dengan hormat. Lalu mulai bercerita. Aku bertanya pada Tuhan meminta kekuatan. Aku sedang terluka dan masih harus berjuang. Aku merasa hidupku sulit dan diciptakan secara tidak adil dari yang lain. Aku merasa aku dibuat berbeda oleh Tuhan, dan itu seringkali membuat aku terjatuh. Kuceritakan penderitaanku, sambil menjaga agar tubuhku tetap tegap, dan nada bicaraku tetap tegas--walaupun aku ingin menangis. Persis seperti seorang prajurit. Lalu Tuhan berkata, apa yang kau inginkan?
Aku sadar, bertanya 'kenapa' atau mengeluh 'tidak adil' tidak akan merubah keadaan. Ribuan orang lain melakukan hal itu, dan hidup mereka tidak terlihat jadi lebih baik. Jadi kukatakan, Tuhan, aku minta, supaya aku tidak sendirian. Aku meminta-Nya untuk tidak meninggalkan aku.
Tuhan diam, tidak menjawab. Memberiku ruang untuk berpikir. Lalu aku merenung. Tuhan tidak mengirimku pergi dengan tangan kosong.
Kulihat tangan kiriku. Ada pedang di sana. Kulihat tangan kananku, menggenggam erat sebuah perisai. Seluruh tubuhku, dilindungi dengan pelindung dari besi. Aku telah memenangkan begitu banyak pertarungan, dengan bimbingan Tuhan, senjata, dan kemampuanku, bahkan dengan tubuh yang cacat. Untuk sesaat, kakiku yang tidak utuh jadi terasa tidak berarti.
Tuhan memberiku kekurangan. Kekurangan yang, sangat mengganggu, menurutku. Aku membayangkan diriku bertarung dengan satu kaki, tanpa senjata yang memadai, aku pasti sudah mati. Tapi Tuhan tidak melakukan itu. Ia membekaliku. Ia tahu aku prajurit yang kuat, yang handal. Ia memberiku banyak kelebihan yang tidak dimiliki orang lain, untuk melawan tantangan-tantangan di dunia ini. Untuk melawan kemalasan, berjuang meraih cita-cita, melawan kebodohan dan ketidaktahuan, menghadapi ujian sekolah, berusaha mendapatkan pekerjaan, semuanya. Ia memberiku bakat. Ia memberiku orang tua yang baik. Ia memberiku rumah yang kurindukan, memberiku teman-teman yang peduli. Semuanya, semuanya itu adalah senjataku.
Aku mengangkat kepalaku dan mendapati Tuhan masih menatapku, menunggu pertanyaanku. Aku menarik nafas dan berucap dengan penuh syukur, Tuhan.. dimuliakanlah nama-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar