Minggu, 26 Agustus 2012
Tergagu, Karena Merasa Kalah.
Tapi aku lalu berpikir, aku seharusnya bersyukur. Tuhan mau aku melihat itu, bukan supaya aku sedih, tapi supaya aku tahu. Bahwa di atas langit, masih ada langit. Bahkan mungkin, aku pun bukan langit. Atau belum sampai di langit. Aku yang selalu ingin ada di paling atas, disadarkan. Tidak perlu berusaha untuk jadi yang terbaik. Melakukan yang terbaik dari dirimu sendiri, itu baru perlu. Apa gunanya menjadi yang terbaik? Demi hormatkah? Toh aku sendiri yang meminta Tuhan untuk menghilangkan kesombonganku. Mungkin, ini salah satu jawaban-Nya..
Sombong VS Minder
Tadi, waktu baru pulang dari kampus, dan sudah makan pagi sekaligus siang, dari kejauhan aku melihat tiga cowok berbaju kemeja berjalan dari arah samping. Cukup jauh dariku. Mereka teman-teman kelasku. Baru pulang mereka. Lalu, entah mereka sedang tersenyum padaku atau tidak, aku cuma tersenyum tipis. Takut mereka sebenarnya tidak sedang menyapaku, takut dibilang sok kenal, takut macam-macam deh! Aku berlalu sambil terus melihat mereka, dan merasa ada kata sombong terucap dari salah satu mulut mereka. Tapi, masih tersenyum.
Aku tidak menyapa bukan karena sombong. Tapi anggap saja, minder. Takut ini itu. Ingat kata Bu Lusi tadi. Orang sombong, dengan orang minder, punya penampakan yang hampir sama. Jadi, jangan sampai salah menilai! :p
Kita, Bertambah Tua
Aku berubah. Aku bertambah tua. Aku akan ulang tahun sebentar lagi (promosi :p), tapi bukan cuma itu, apa yang ada di dalam diriku berubah.
Kadang, apa yang dulu kita rasa benar, jadi tidak benar lagi. Bukan kenyataan itu yang berubah, tapi kesadaran kita yang berubah. Tadi kubilang, kita bertambah tua. Ya, kita makin mirip dengan orang-orang dewasa di luar sana. Mereka yang dulunya kita ejek, kenapa begini kenapa begitu. Sekarang, cuma bisa terdiam, baru mengerti. Mengerti kenapa mereka begini, kenapa begitu. Aku yang dulunya membenci bapak-bapak atau ibu-ibu yang eksis di facebook, sekarang, sedikit demi sedikit, mulai bertingkah seperti mereka, lalu terdiam. Mungkin sampai nanti, sampai kita mati, juga akan terus begini. Manusia terus belajar, kan? Kalau dipikir-pikir... melelahkan juga ya. Toh sampai mati kita nggak akan mencapai titik kesempurnaan itu. Tapi, manusia memang tidak sempurna. Daripada menyerah lalu memilih untuk tidak berkembang sama sekali?
Mau Miskin Tapi Tertawa, Atau Kaya Tapi Cemberut?
Mungkin... ini sama seperti jadi orang miskin yang bersyukur, daripada jadi orang kaya yang tidak pernah tersenyum.
Kawanku, banyak orang-orang di luar sana yang masih bisa tertawa lepas, yang lebih sering bercengkrama dibanding orang-orang yang lebih kaya dari mereka. Banyak orang-orang yang tidak membutuhkan uang banyak untuk membuat mereka bahagia. Yang tidak menjadiakn kemewahan dan segala bentuk kehidupan glamor sebagai syarat tersunggingnya senyum mereka. Dan aku, mengagumi orang-orang itu.
Tapi, kalau kita ditanyai seperti itu--mau jadi orang kaya yang cemberut atau jadi orang miskin yang tertawa?--secara otomatis, pikiran kita yang tidak mau dirugikan akan menjawab: mau jadi orang kaya yang tertawa! Kalau begitu, kita ambil saja jalan tengahnya. Jadi, yang sudah kaya, bersyukur dan tersenyumlah. Nikmati hidup, jangan terlalu khawatir hartamu akan hilang, kalau kekhawatiran itu sampai merenggut kebahagiaanmu. Yang masih miskin, tetap bersyukur lalu berusahalah jadi kaya. Bersyukur bukan berarti berhenti berusaha, kan? Ayo kita saling mendoakan, supaya kita, satu per satu, bisa jadi orang kaya yang tertawa... Kalau Tuhan mengizinkan. :)
Aku Masih Ingin Menjadi Penulis. Penulis Apa Saja...
Aku masih bingung kenapa aku menulis. Yang pasti, aku merasa lebih baik setelah itu. Aku menulis saat aku merasa buruk. Lalu, semuanya jadi lebih baik. Atau lebih tepatnya, semuanya kembali baik. Seakan-akan, tidak ada yang terjadi...
Mungkin beberapa tulisanku sifatnya personal. Mungkin, bukan sesuatu yang sebaiknya diberikan ke banyak orang. Tapi, memang itu resikonya.
Aku suka sebuah buku. Judulnya, River's Note. Penulisnya, Fauzan Mukhrim. Dia seorang ayah. Atau mungkin, calon ayah. Buku itu adalah kumpulan catatan hariannya yang dia tujukan buat anaknya yang bahkan belum lahir. Buku itu bagus banget (sekalian promosi). Entah iya atau tidak, buku itu benar-benar ditulis sesuai perasaan dia yang sebenarnya... Aku harap memang benar. Karena aku sudah terlanjur kagum dan attached dengan tulisannya. Dengan kehidupannya, kehidupan personalnya yang dia tuangkan di dalam buku itu.
Seorang penulis, misalnya penulis jurnal seperti dia, memang sudah memutuskan untuk mengambil resiko itu. Resiko untuk membuat kehidupannya terekspos. Semuanya memang jadi bahan cemilan publik, tapi... entahlah. Kuharap ada gunanya, ada manfaatnya. Kuharap dengan menulis perkembanganku disini, pengalamanku, pemikiranku, sesuatu bisa berubah. Aku tidak tahu di mana letakku. Di atas, setara, atau di bawah? Aku tidak tahu apakah aku lebih baik dari kalian, sama, atau lebih payah, lebih alay. Aku tidak tahu apakah blog ini membuat kalian tersentuh, atau jijik. Aku cuma mau menulis. Cuma bisa bertanya-tanya, apakah seiring semakin banyak orang yang membaca postinganku, semakin banyak orang yang membenciku atau tidak. Sekali lagi, aku cuma mau menulis... Mungkin aku punya motivasi tersembunyi waktu menulis, yang aku sendiripun tidak sadar apa itu. Aku cuma berharap, semoga motivasi itu benar. Sekian.
Jangan Tanyakan Itu
Jangan tanyakan itu. Kalau kau tanyakan, aku tak bisa menjawab. Kalau kau tanyakan, hatiku bisa berubah.
Semua orang punya sesuatu. Sesuatu yang tak bisa mereka jawab jika ditanyakan. Sesuatu yang mengubah raut wajah mereka, jika ada yang menyinggungnya. Setiap orang, bahkan mereka yang hidupnya terlihat sempurna. Semuanya punya, supaya adil. Seperti semua orang mendapat makan malam yang sama, mereka juga mendapat obat pahit yang sama. Mungkin berbeda jenis, tapi semua punya. Supaya kita tidak menjadi sombong. Supaya kita tidak merasa, kita lebih baik dari yang lain. Supaya kita lebih mengerti perasaan orang lain, mereka yang sedang bersedih dan menderita. Tuhan itu adil..
Jumat, 24 Agustus 2012
Jangan Berusaha
Sedikit demi sedikit, aku sudah mengerti poinnya. Jangan berusaha. Aku khilaf, aku selalu berusaha. Berusaha jadi pusat perhatian, berusaha untuk didengarkan. Berusaha untuk terlihat, berusaha untuk dikagumi. Pantas saja, mereka tidak betah.
Randomizing the Night
Sudahlah. Berusaha pun, aku masih tak terlihat. Lebih baik tak berharap. Daripada berharap lalu dijatuhkan. Sementara, aku kembali menjadi ratu galau. Tapi cuma sebentar, cuma intermezzo.
Memang tidak ada orang yang bisa senang terus. Bahagia terus, tanpa sedikitpun terasa sedih.
Bapak penjaga kosku entah kenapa, suka berkata aku galau. Sambil bercanda dan lewat saat mengepel.Aku tertawa dan bilang, aku tidak galau! Memang tidak... Aku cuna bermain handphone. Mungkin aku hanya kurang tersenyum. Memang terbiasa begitu!
Malam ini, saat aku turun dari lantai dua kos-kosanku, aku mendongak ke atas, dan mengintip alam raya lewat udara kosong di atas tangga. Berhenti sebentar, menikmati bintang yang tergantung tinggi. Cantik. Melihat bintang dari atap. Romantis ya?
Kemana arah postingan ini, aku juga tidak tahu. Cuma ingin menulis sesuatu. Good night, vellas!
Psikologi Tidaklah Bodoh
Seorang dosen di fakultasku pernah berkata: Hanya ada dua alasan kenapa seseorang memilih fakultas psikologi. Pertama, karena sering dengar curhat, kedua, karena sering curhat ke orang. Mereka yang sering dengar curhat, mungkin merasa terpanggil untuk menolong orang lain. Mereka yang sering curhat ke orang, mungkin merasa terpanggil untuk menolong diri sendiri... Ini hanya banyolannya, tapi banyak yang tertohok. Mungkin kesimpulan yang enak didengar adalah mencoba menolong diri sendiri dan orang lain. :)
Masih dosen yang sama, ia pernah bilang kalau sekarang ini, banyak psikolog yang pakai common sense untuk menjawab pertanyaan, misalnya di TV. Jawaban yang semua orang juga sudah tahu. Ia bilang, cobalah berpikir kritis. Kalau ada yang promosi macam-macam, cobalah mencari tahu, mencari bukti, mencarri kebenaran. Bukan dengan pendapat sendiri, tapi dengan penelitian. Walaupun belum bisa dilaksanakan penelitian itu, tapi setidaknya, kita sudah mulai berlatih berpikir kritis.
Dosen yang lain, juga pernah menyinggung soal common sense. Begini katanya: Ingat-ingat tujuan kita selama 4 tahun ini: jadi sarjana psikologi. Seorang sarjana psikologi harus berbeda dari orang-orang biasa, harus berbeda dari para penulis psikologi populer, harus berbeda dari mereka yang menjawab dengan common sense. Psikolog, adalah ilmuwan. Ilmuwan menganalisa dengan menggunakan data. Dengan teori.
Masih dosen yang sama, berkata bahwa banyak sekali tulisan dan artikel tentang 'diri'. Itu wajar. Karena setiap orang, pasti punya pengetahuan tentang diri. Diri mereka sendiri, terutama. Tapi seorang sarjana psikologi, menganalisa dengan data dan metode ilmiah. Itu yang membedakan kita dengan orang-orang lain...
Kira-kira semacam itu. Aku senang mengetahuinya, semakin yakin kalau psikologi bukanlah ilmu bodoh seperti yang banyak orang pikirkan...
Rabu, 22 Agustus 2012
Do Not Read.. Forget it. You read it anyway.
This is almost midnight. People have gone to sleep, and I planned to. But these thoughts are making me sad. I don't know. I don't know how to fight them.. yet.
The problem is, I can't differ. Which one is right? Which one is wrong? Even if I could, then i couldn't find anybody here who has the same thought with me. The same way of thinking. God, could You send one, please? I feel so miserable here, so many people makes me think that they are right, and I am.. weird. Yes, they call us weird. Is it true, God? Or is it just they who have such a dumb head? Maybe, this is just not my place? I just don't belong here and I don't need to fit in. I'm confused, God. Do I have to change? If I don't, it's quite hard to survive. Way too hard! Nobody stands by me. Nobody seems to understand my thoughts. Nobody seems to be the same with me. Send me one, God. Send me one.. I need them. Soon. I'm begging..
-a midnight in my room, filled with confusion and dried tears. a personal diary you shouldn't read. it is me who's dumb, to write it here is a stupidity, but it still felt urgent anyway. i just need to write it here idk why-
Minggu, 19 Agustus 2012
"A Leader?" A Morning Interview With Myself..
A: Hmm... Pertama, kepercayaan diri. Tanpa kepercayaan diri, seorang pemimpin bahkan tidak dapat memimpin dirinya sendiri. Lalu... pikiran yang jernih, yang tenang, tidak panik dalam tekanan. Supaya saat ada masalah, ia tetap bisa terlihat tenang, dan para bawahannya pun mengikutinya. Orang yang tetap tenang pun akan lebih mudah mengambil keputusan. Keputusan yang diambil pun lebih kecil kemungkinannya untuk menjadi keputusan yang salah/kurang tepat.
Q: Ada lagi?
A: Masih! Banyak. Para pemimpin itu... mereka harus bisa jadi first mover. Berani mengekspresikan diri. Selalu bersemangat dan antusias saat melakukan sesuatu, bahkan ketika sedang berbicara. Mampu mendengarkan, mampu menerima dan melaksanakan pendapat anggotanya, walaupun kurang sesuai dengan pendapatnya pribadi. Harus bisa mengalah dan tidak menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Harus bisa melihat suatu masalah dalam suatu gambaran besar, dan menyelesaikannya dalam potongan-potongan kecil. Punya tatapan mata yang bersemangat dan meyakinkan. Selalu berpikir positif = optimistic. Di lain pihak, dia juga harus mampu mengantisipasi masalah yang mungkin akan datang. Seorang pemimpin... tidak boleh mudah menyerah. Samasekali tidak boleh!
Q: Menurutmu, di manakah posisi seorang pemimpin?
A: Menurutku... seorang pemimpin ada di mana-mana. Dia ada di atas, untuk memantau dan mengatur kelompoknya. Dia ada di depan, untuk memberi contoh dan memilihkan jalan untuk diikuti para anggotanya. Dia ada di samping, kanan dan kiri, untuk menjadi teman dan sahabat para anggotanya. Juga, ada di belakang... untuk mendorong para anggotanya, memberi semangat agar terus melangkah maju. Tapi ia tidak boleh ada di bawah, karena pemimpin harus dihormati, dihargai, dan tidak dianggap remeh oleh para anggotanya. Yep, dia harus pandai-pandai menempatkan dirinya sendiri.
Q: Pernahkah kau melihat atau bertemu orang-orang dengan kualitas seperti itu?
A: Pernah. Merekalah yang menginspirasiku saat aku menulis ini. Saat ditanya kualitas-kualitas seorang pemimpin, aku membayangkan kualitas mereka, kualitas yang mereka pakai dalam memimpin suatu kelompok (bahkan kelompok kecil sekalipun). Karena mereka = pemimpin. Kepemimpinan itu, bukanlah suatu label/lapisan yang ditempelkan di pribadi seseorang. Kepemimpinan harus mengalir. Menyatu dengan kepribadian seorang individu. Harus terlihat dalam tindakan-tindakannya setiap hari. Misalnya, berani mengatur dirinya sendiri (sekedar berusaha untuk tepat waktu, atau belajar menahan emosi), punya inisiatif, dan sebagainya. Oh ya, kau tidak bisa berpura-pura menjadi seorang pemimpin. Kalau kau berpura-pura, mereka akan percaya padamu (pada awalnya), mengangkatmu sebagai pemimpin, lalu kau akan mengacaukan semuanya.
Q: Apakah menurutmu semua orang bisa menjadi pemimpin?
A: Ada orang yang terlahir dalam keluarga yang berjiwa pemimpin. Ada anak yang bersekolah di sekolah bagus yang menanamkan nilai-nilai kepemimpinan. Untuk mereka, akan lebih mudah menjadi pemimpin. Bahkan, mungkin mereka telah menjadi pemimpin tanpa mereka sadari. Nah, untuk orang-orang yang tidak seberuntung mereka, akan lebih sulit, akan lebih banyak perjuangan, tapi tidak berarti mustahil. Buktinya saja, ada banyak universitas yang mengiginkan siswanya memiliki jiwa kepemimpinan pada akhirnya. Banyak seminar dan workshop tentang kepemimpinan (leadership), buku-buku tentang itu, artikel di internet, yang membuktikan bahwa kepemimpinan bisa diperoleh dengan usaha. Dan kemauan.
Q: Nah... Kau sendiri, kenapa ingin jadi pemimpin?
A: Mungkin karena aku pemimpin yang buruk. Kalau mau berprestasi, harus bisa jadi pemimpin. Tidak bisa jadi follower saja. Kalau mau beasiswa, harus punya jiwa pemimpin. Kalau mau dapat kerjaan bagus, harus mampu jadi pemimpin. Juga, kalau mau jadi pribadi yang lebih baik, harus bisa jadi pemimpin, pemimpin bagi diri sendiri. Begitulah!
Q: Oh, kalau begitu, saya cukupkan saja sampai di sini. Semoga berhasil ya menjadi pemimpin!
A: Ya... Terimakasih. : )
Sabtu, 18 Agustus 2012
Kami Cuma Penulis Blog
Untuk apa aku menulis? Aku tidak tahu. Aku hanya menulis saja. Sambil sesekali melirik ke masa depan, bertanya-tanya apakah aku akan jadi penulis sungguhan. Mungkin tulisanku naif, tidak sempurna, tapi itulah aku. Aku yang sedang belajar, aku yang tidak akan berhenti belajar. Mungkin aku akan berubah. Suatu hari nanti, aku mungkin akan membuka kembali postingan lama dengan wajah bersemu merah, dan buru-buru menghapus semua yang memalukan. Sama seperti aku di masa sekarang yang malu dan menghapus foto-foto lamaku yang meletakkan dua jariku di bibir. Oh betapa.
Aku, di sini, bersama semua penulis blog lainnya, memang tidak sempurna. Kami bukan orang-orang hebat yang memimpin sebuah negara. Bukan juga motivator yang menginspirasi ribuan orang yang haus akan semangat hidup. Bukan juga penulis buku bestseller yang bukunya dibaca banyak orang dari berbagai kalangan.
Kami bukan orang-orang yang sudah ada di tangga atas, berhasil melewati semuanya, sukses menjalani hidup. Mungkin, kebanyakan dari kami adalah orang-orang yang sedang belajar, berusaha berkembang, dan blog ini--tulisan-tulisan ini--adalah salah satu cara kami untuk berjuang. Kami para pembelajar. Bahkan, orang-orang sukses itu juga masih terus belajar. Idealnya, tidak ada manusia yang bisa berhenti belajar.
Intinya, kami cuma penulis blog. Kami menulis apa yang kami ketahui, seringkali dengan akal pikiran kami yang terbatas ini. Kami berbagi apa yang kami rasakan, berbagi berbagai pengalaman berkesan kami, yang mungkin tidak penting menurut kalian. Kami menyatakan perasaan kami, 'pencerahan' yang kami dapatkan, dan maafkanlah kami jika terkesan sedikit menggurui.
Jika sedikit yang tidak suka tulisan kami, dan banyak yang suka, kami akan sangat senang, dan setiap pujian akan kami jadikan motivasi untuk menulis lagi dan lagi. Tapi jika banyak yang tidak suka tulisan kami, dan sedikit yang suka, berarti mungkin kesalahannya ada pada kami. Kalau sudah begitu, kami tidak akan bisa apa-apa, kecuali kalian--para haters--bersedia memberitahu kami. Kalau tidak, cukup doakan saja kami, supaya suatu hari nanti, kami bisa berubah dan dengan wajah bersemu merah, berusaha menghapus postingan-postingan yang memalukan. :)
Jangan Ucapkan Kata Ini
Kemunafikan itu sederhana. Tersebar dalam percakapan kita. Dalam hubungan percintaan kita. Dalam tindakan kita, dalam kebohongan kita. Dan sebersih apakah aku ini, sampai sanggup bicara soal kemunafikan? Aku hanya ingin bilang, kita semua sama.
Mereka yang Berbeda, Mereka Ada
Itu mereka, orang-orang yang tidak pernah marah. Mereka yang merendahkan pijakan mereka sendiri, untuk mengangkat orang lain. Mereka yang diam saat dimarahi, atau merelakan saat dikhianati. Mereka yang tidak tahu cara membalas ejekan. Atau bahkan, sekedar candaan. Mereka yang merasa berdosa dan jahat, hanya ketika mereka mencoba untuk bercanda sambil 'menghina'. Mereka ada.
Mereka ada, dan kau tahu, mereka beruntung. Karena beberapa di antara mereka, dikelilingi oleh malaikat-malaikat paling baik di dunia. Malaikat-malaikat yang tahu, mereka harus menjaga hati yang lembut ini. Yang melindungi mereka, saat mereka tidak tahu bagaimana melindungi diri sendiri. Yang tidak segan-segan marah besar, saat tahu ada orang yang tega menyakiti mereka. Malaikat-malaikat itu simpel, mereka disebut 'sahabat'.
Aku tidak membicarakan diriku sendiri, karena aku tidak memiliki semua sifat itu. Mungkin ada beberapa di antaranya. Tapi aku akhirnya tahu satu dua orang yang seperti itu. Dan sadar, bahwa kami beruntung. Karena aku pun, punya malaikat-malaikat itu. :)
Selasa, 14 Agustus 2012
Hari Pertama... Belajar Psikologi!
Aku belajar banyak hal tentang psikologi hari ini. Akan kutuliskan yang kuingat. Siapa tahu ada seseorang yang ingin tahu.
Pertama-tama, kami belajar mengenai kata 'teori' dan definisinya. Syarat-syarat suatu teori yang baik itu, harus merupakan beberapa pandangan yang dapat dirangkaikan dalam satu tema, dapat diuji, konsisten.
Diajarkan cara berpikir orang Jerman dan orang Amerika yang berbeda. Para ahli psikologi di Amerika terutama mengumpulkan berbagai data dan bukti, lalu dari data-data itu menyimpulkan suatu teori yang sah. Nah, kalau di Jerman, kebalikannya. Suatu teori dinyatakan, baru setelah itu dibuktikan dengan keberadaan data-data. Benar atau salah. Kalau menurut pendapatku, sepertinya sang dosen merujuk cara berpikir orang Jerman yang lebih baik. Tapi aku tidak begitu memperhatikan bagian itu tadi..
Lalu diajarkan bahwa suatu teori itu harus bisa mengembangkan penelitian. Jadi, seperti sebuah siklus. Teori dibuat, lalu dibuktikan, lalu ternyata teori itu kurang lengkap/kurang tepat, lalu hasil pembuktian itu akan merevisi teori yang sebelumnya sudah ada. Pusing? Ya sudah, tidak usah dipikirkan.
Aku ingat bahwa tadi dikatakan bahwa suatu penggagas teori, yang terkenal seperti Freud, Jung, Erikson, dll ternyata membawa kepribadian mereka sendiri di dalam teori mereka. Aku cukup terkesan dengan hal itu, dan bahkan setiap teori pun punya kepribadian bawaan dari pencipta mereka. Lalu sang dosen yang ialah seorang biarawati, juga mengungkit sedikit soal tes kepribadian. Bahwa dalam suatu tes, hal yang paling membuat rumit adalah manusia itu sendiri. Bahwa manusia itu sangat kompleks. Ia bisa bertindak introvert di suatu waktu, dan pada situasi lain ia bisa menjadi ekstrovert. Kira-kira seperti itu.
Yah, cukup sudah penjelasan ulangnya. Sebenarnya bukan hanya itu, masih banyak lagi. Tapi, toh tidak ada yang mau membaca seperti itu. Aku cuma sekalian ingin mengetes, apakah aku masih ingat. Orang bilang, kalau kita sudah bisa menjelaskan kembali dengan kata-kata kita sendiri, artinya kita sudah benar-benar paham. Dan... taraaaaa.. aku paham. :]
Yang pasti, aku menikmati pelajaran ini. Aku tidak mengantuk sama sekali, aku mengangguk-ngangguk kalau setuju dan merasa senang, aku merasa ingin membaca lagi dan lagi dan tahu semuanyaaa! Mungkin ini yang orang bilang passion. Yang buat kita semangat, buat kita nggak terpaksa, buat kita nggak terbebani. Tadi aku terpikir, aku sudah bukan siswa SMA lagi. Yang belajar malas-malasan, harus belajar semuanya, harus dapat nilai bagus. Di sini, kita sudah memilih sendiri apa yang kita mau, yang kita minati, jadi tentunya salah kalau kita malas-malasan. Di sini, kita mempelajari apa yang kita ingin pelajari. Singkatnya, bukan seperti seorang siswa SMA yang HARUS belajar, tapi seperti seorang PROFESOR yang ingin tahu dan ingin tahu dan ingin tahu semuanya...
Yah. Sudah cukuplah cuap cuap sok tahu ini. Saya cuma ingin berbagi. Kalau naif, maafkanlah. Manusia tidak sempurna. Para penulis blog juga tidak. So, enjoy your day, dan semoga Tuhan memberkati langkah kita, supaya sukses nantinya! Amin!
"Cari tahu apa kesukaanmu. Jadilah hebat di bidang itu. Pelajari semua yang ingin kau tahu, dan jadilah yang ada di atas. Pada akhirnya, kau yang tidak memikirkan uang akan berlimpah dengan uang yang datang dengan sendirinya." (amin)
Senin, 13 Agustus 2012
Tapi Aku Menyukainya, Kawan
Kalau Aku Menelepon Mamaku, Aku Tidak Manja!
Jadi, kalau aku menelepon mamaku dan menceritakan hal-hal yang mungkin tidak akan kau ceritakan pada ibumu, jangan tertawai aku. Aku hanya mencoba menjadi anak yang baik, walaupun sering juga aku menyakiti orangtuaku. Aku minta maaf ma, pa, dan terimakasih sudah jadi orangtua yang sangat baik sekali, untuk aku dan Piter. :]
Kalian, Ya, Kalian Beruntung!
Tuhan, Ini Untuk Sahabatku
Tuhan, terimakasih untuk sahabat-sahabatku. Mereka yang sudah ada sejak lama. Selalu berusaha untuk tetap jadi satu, walaupun terlalu banyak perbedaan di dalamnya. Mereka yang selalu berusaha untuk menjagaku tetap ada di dalam mereka, walau aku tidak memberikan banyak untuk mereka, pada awalnya. Mereka Borobudur. Bukan geng, kata mereka, walau kadang-kadang kami bersikap seperti geng-geng pada umumnya. Mereka sepuluh orang sahabat SMA yang berusaha tetap jadi sahabat, walaupun sudah terpisah oleh jarak dan teman-teman baru. Dan sampai sekarang, kami masih sahabat. Tuhan, panjangkanlah umur persahabatan kami. :]
Tuhan, aku juga punya teman-teman baru. Terimakasih. Mereka juga baik, senang rasanya. Engkau beri kami kekompakan dan persahabatan baru yang menyenangkan. Mereka baik, peduli padaku. Semoga saja sampai nanti sikap mereka juga masih tetap bersahabat.
Tuhan, terimakasih untuk sahabat-sahabatku. Mereka hadiah yang indah, yang kau berikan untuk membantuku menghadapi hidup. Membantuku saat aku menangis. Dan membantuku mempelajari hal-hal baru. Jaga mereka, ya Tuhan. Beri mereka tidur yang nyenyak malam ini.
Selamat Malam, sahabat. :]
Selasa, 07 Agustus 2012
Pembangkang
Oh ya, aku pernah bercerita tentang kos baruku, kan? Ternyata, aku memang terlalu cepat menyimpulkan. Biar kuceritakan lagi.
Aku menelepon mamaku. Dan sesekali bercerita tentang itu. Aku bilang, aku tidak bisa berteman dengan mereka. Mama bilang, kenapa? Kubilang, mereka sudah berteman dari dulu, jadi susah buatku kalau mau ikutan. Mama menyanggah dan bilang, tidak boleh begitu~ Kan teman satu kos. Sudah seperti keluarga lah, anggap saja begitu. Kataku, sudah kucoba ma, tapi cuma sebatas saling nyapa, terus udah. Lalu mama memberi wejangan lagi, aku lupa sih isinya, tapi yang pasti, aku tidak membantah seperti biasanya. Aku mengalah dan akhirnya bilang, oke deh ma. Sesuatu yang dulu tidak akan mungkin kulakukan.
Dan ternyata, semua jadi lebih baik.
Ada Yang Bilang
Dulu, Aku Bukan Manusia
Dulu, aku tidak peduli kalau ada yang meninggal. Sebenarnya bukan tidak peduli, tapi tidak bisa jadi sedih. Aku mau ikut-ikutan sedih seperti yang lain, tapi tidak bisa. Bagiku, kematian itu hal biasa. Semua orang pasti akan mati. Mungkin aku akan sedih kalau kisahnya tragis atau semacamnya.
Dulu, aku juga tidak mengerti kalau ada yang menangis. Teman-temanku yang lain bisa menghapus air mata temannya, lalu ikut-ikutan diam dan menunduk. Tapi aku tidak bisa. Menurutku itu konyol. Aku cuma bisa berdiri mematung dengan canggung, tidak tahu harus berbuat apa.
Tapi sekarang, ada sesuatu yang mengubahku. Aku tidak akan bilang itu apa, atau siapa, yang pasti aku sangat berterimakasih.
Ada yang salah denganku. Masalahnya adalah, aku tidak bisa ikut merasakan yang orang lain rasakan. Apa ya sebutannya? Empati kah? Aku lupa. Tapi kalian pasti mengerti maksudku.
Biasanya, aku tidak pernah punya masalah yang cukup mengganggu hari-hariku. Kalaupun dulu aku menangis atau stres atau apalah itu, itu cuma karena pikiranku sendiri yang membandel dan menyakiti diriku sendiri. Tapi kali ini, aku menangis karena benar-benar ada masalah. Dan waktu itu, yah, anggap saja aku sedih sekali.
Biasanya, kalau aku sedang sedih, aku akan tetap pura-pura senang dan tertawa seperti biasanya. Atau sesekali menertawakan diriku sendiri di depan orang lain. Aku tidak butuh rangkulan dari teman-temanku, yang ada aku malah jadi malu kalau dikasihani, entah kenapa. Mungkin egoku yang terlalu tinggi menghalangiku untuk meminta bantuan dari teman-temanku. Mungkin aku yang biasanya berdiri sendiri, jadi malu kalau mencoba menjadi lemah di depan orang lain.
Tapi kali itu, aku tidak bisa sendirian. Waktuku hampir habis dan aku harus pulih secepat mungkin. Lagipula, aku tidak bisa lagi pura-pura senang. Waktu itu (pelan-pelan memang, tidak langsung), aku memotong sedikit demi sedikit egoku. Dan saat itu aku sadar, bahwa aku butuh teman-temanku. Baru kali itu aku mengerti rasanya ditemani dan dihibur saat hatimu sedang ada di tingkat paling bawah. Aku baru mengerti rasanya punya 'masalah'. Punya sesuatu yang pantas ditangisi. Atau, mengerti rasanya kehilangan seseorang. Sekarang aku mengerti, orang-orang yang sedang sedih (sangat) butuh dihibur. Itu bukan kekonyolan atau sekadar formalitas seperti yang selama ini kukira. Dan untuk bisa menghibur, kau harus bisa mengerti dulu. Aku bersyukur. Karena akhirnya aku punya hati, yang bisa mengerti hati orang lain. Mungkin ini baru sedikit. Mungkin masih banyak yang belum aku mengerti. Tapi aku tetap senang. Maka kutuliskan di sini.
Rabu, 01 Agustus 2012
Kotak Korek Api
Seekor kutu anjing sebenarnya bisa melompat jauh sekali. Tapi seseorang memasukkannya ke dalam sebuah kotak korek api. Kutu anjing itu melompat, tapi tertabrak. Tidak bisa melompat tinggi. Kutu anjing itu pun menyesuaikan lompatannya, sampai akhirnya ia tidak mampu lagi melompat setinggi yang biasanya. Bahkan, setelah dikeluarkan pun, dia hanya bisa melompat setinggi batas kotak korek api...
Aku terkesan, karena banyak kejadian seperti itu. Entah aku yang mengalami, entah melihat pengalaman orang. Senang rasanya bisa tahu istilahnya. Dan jadi yakin kalau fenomena seperti itu memang ada.
Aku dan Kos Baruku
Aku dan kos baruku. Hanya penghuni sebuah kamar di lantai atas yang ditempatkan paling ujung. Paling ujung dari sebuah lorong yang hanya terdiri dari dua kamar, sebenarnya. Tapi terkadang, sepi. Tidak ada orang yang lewat di depan kamarku, mengibaskan angin sembari berjalan melewati pintuku. Kakak yang tinggal di sebelahku sebenarnya juga sering keluar masuk kamar, menimbulkan suara gaduh membuka kunci, tapi hanya sebatas itu. Atau suara percakapan dengan kakak di kamar sebelahnya lagi, yang kelihatannya mereka sudah berteman cukup dekat dan punya kegiatan mereka sendiri. Pernah aku bicara dengan mereka, mengobrol sebentar tentang OSPEK dan laundry, lalu percakapan terhenti dan suasana menjadi canggung dan menggantung. Lalu selesai. Sebatas itu.
Jadi, tinggal aku dalam kos baruku, yang sesekali bernyanyi di kamar mandi dengan suara keras, tidak begitu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, aku menikmati hidup baruku, kok. :)
Gila Hormat
Aku Belajar
Aku belajar untuk bangun pagi dengan pikiran yang positif. Aku belajar bahwa tidak semua orang bisa kita jadikan teman begitu saja. Aku belajar bahwa orang-orang bergaul dengan cara yang berbeda. Aku belajar bahwa apa yang dia katakan benar, belum tentu benar. Aku belajar bahwa kalau orang lain bodoh, kita tidak perlu jadi bodoh untuk bisa berbaur dalam candaannya. Aku belajar bahwa momen yang canggung itu wajar dan terjadi di antara orang-orang supel sekalipun. Aku belajar bahwa orang-orang kaya ternyata juga menyetrika baju mereka sendiri, sesuatu yang dulunya jarang sekali kulakukan. Aku belajar bahwa persahabatan itu sangat penting, walaupun aku baru bisa menyadarinya setelah aku merasa diabaikan atau ditinggalkan. Ada banyak sekali yang kupelajari--tidak bisa kutuliskan semuanya di sini!